Bangkit dan Hancurnya Partai Komunis Indonesia PKI di Indonesia

bowo arifin
By -
0

Setiap bulan September, Indonesia memperingati peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Peristiwa ini menjadi penting karena tepat 55 tahun yang lalu, PKI disebut-sebut hampir saja merebut kekuasaan pemerintahan Indonesia. Namun, ini bukan pertama kalinya PKI terlibat konflik dengan pemerintahan. Lalu, mengapa dengan berbagai kontroversi tersebut, PKI sempat menjadi salah satu partai paling berpengaruh sebelum akhirnya dibubarkan secara permanen pada tahun 1965?

Akar Komunisme: Dari Hindia Belanda hingga Sarekat Islam

    Meskipun mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1950-an, benih komunisme di Indonesia telah muncul jauh sebelumnya—pada awal 1900-an, ketika wilayah ini masih bernama Hindia Belanda. Setelah menaklukkan berbagai daerah di Nusantara, Belanda mulai menghubungkan wilayah-wilayah tersebut melalui infrastruktur transportasi dan membuka keran investasi asing. Komoditas seperti kopi, rempah-rempah, dan karet menjadi andalan ekspor. Ekonomi pun meningkat tajam.  Sayangnya, pembangunan itu tidak diiringi dengan keadilan sosial. Sistem hukum rasial yang diterapkan Belanda justru menciptakan ketimpangan: masyarakat diklasifikasikan berdasarkan warna kulit dan asal etnis. Alih-alih sejahtera bersama, masyarakat justru terpecah—pribumi, Indo-Eropa, dan Tionghoa hidup dalam ketegangan sosial. Pedagang Belanda pun mendapatkan berbagai hak istimewa. Hal ini memicu rasa tidak adil dan dendam di kalangan masyarakat lokal. Dari sinilah mulai tumbuh organisasi-organisasi yang memperjuangkan hak kelompok masing-masing. Salah satunya adalah Sarekat Islam, yang awalnya dibentuk untuk membantu pedagang pribumi bersaing melawan pedagang Tionghoa. Di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto, organisasi ini berkembang pesat dan mulai dicurigai oleh Belanda.
    Di tengah situasi ini, pada tahun 1914, seorang warga negara Belanda bernama Henk Sneevliet mendirikan organisasi bernama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya. Organisasi ini berpaham sosialisme revolusioner dan lebih fokus pada penindasan kelas daripada konflik antar-etnis. Hal ini membuat ISDV tampak lebih inklusif—tidak memandang latar belakang agama maupun suku.

Komunisme di Tengah Krisis Ekonomi & Politik

    Awalnya, anggota ISDV hanya sedikit dan mayoritas adalah orang Belanda. Namun, situasi berubah drastis ketika Perang Dunia I pecah di Eropa. Inggris dan Prancis memblokade ekspor dari Hindia Belanda ke Eropa untuk melemahkan Jerman. Ketakutan akan invasi Jepang juga membuat militer Belanda menimbun bahan pangan. Akibatnya, kebutuhan pokok naik drastis, perekonomian lesu, dan pemecatan buruh terjadi di mana-mana. Narasi ISDV tentang eksploitasi dan perjuangan kelas pun menjadi relevan dan menarik bagi rakyat. ISDV mulai melontarkan kritik terhadap Sarekat Islam, terutama saat organisasi ini berencana memasuki parlemen kolonial (Volksraad) atau mendukung pembentukan milisi pribumi (Indie Weerbaar). Perlahan tapi pasti, anggota Sarekat Islam pun mulai bergabung ke ISDV. Beberapa tokoh seperti Tjokroaminoto dari kalangan Islam dan Tan Malaka dari pihak kiri sempat berusaha menjaga persatuan. Namun, usaha ini gagal. Pada tahun 1920, ISDV resmi berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sayangnya, organisasi-organisasi perjuangan gagal bersatu, dan pada tahun 1926 PKI melakukan pemberontakan sepihak yang justru berujung pada represi oleh Belanda—bukan hanya terhadap PKI, tapi juga terhadap kaum nasionalis lainnya. Akibatnya, banyak anggota PKI dibuang ke tempat terpencil seperti Papua. Belanda pun mulai menerapkan politik pecah belah antara kelompok komunis dan nasionalis non-komunis.

Dari Gagal Bersatu ke Gagasan Nasakom

    Kegagalan ini menjadi pelajaran penting bagi Soekarno muda. Ia menyadari bahwa kemerdekaan hanya bisa diraih jika seluruh kekuatan perjuangan bersatu, bukan terpecah berdasarkan ideologi.Karena itu, Soekarno menilai PKI tetap bagian dari perjuangan nasional. Ia mencetuskan gagasan Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) sebagai jalan tengah. Ketika mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), Soekarno bahkan memodifikasi ajaran Marxisme menjadi Marhaenisme—lebih sesuai dengan realitas rakyat Indonesia. Ia juga memasukkan nilai-nilai keagamaan yang dikenalnya dari Sarekat Islam.

Namun, realitas tidak seindah harapan.

Pemberontakan Madiun dan Naiknya Aidit

Pada tahun 1948, Indonesia telah merdeka, tetapi PKI kembali melakukan pemberontakan. Dipimpin oleh Muso, pemberontakan ini dipicu oleh kekecewaan terhadap Perjanjian Renville yang dianggap terlalu lunak terhadap Belanda. Muso bahkan menuduh Soekarno dan Hatta telah mengkhianati republik, dan ia sempat memproklamasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia. Pemberontakan ini berhasil digagalkan oleh TNI, meskipun memakan banyak korban, termasuk dari kalangan tokoh agama. Namun, Presiden Soekarno tetap tidak melarang PKI. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh D.N. Aidit. Ia mengubah haluan PKI dari oposisi menjadi partai pendukung pemerintah. Di bawah Aidit, PKI mendekat ke Presiden Soekarno dan PNI, meskipun memiliki ideologi berbeda. Ini membuat pengaruh PKI kembali menguat di masyarakat. Namun, TNI tetap curiga. Isu menyebarnya ajaran komunisme dalam tubuh militer makin kuat, dan kekhawatiran akan kudeta oleh PKI setelah Soekarno wafat makin membesar.

Akhir PKI

Menjelang akhir tahun 1965, kesehatan Soekarno menurun, dan isu soal transisi kekuasaan mulai mencuat. Malam 30 September 1965 menjadi titik balik sejarah: tujuh jenderal TNI AD dibunuh.

TNI kemudian melancarkan operasi pembersihan terhadap PKI hingga ke akarnya. Dengan mandat Supersemar, Angkatan Darat membubarkan PKI dan semua organisasi massanya. Partai yang pernah berjaya ini pun akhirnya musnah dari panggung politik Indonesia.

Baca juga:

Tags:

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)