Terlihat para mahasiswa berusaha membentangkan spanduk besar bertuliskan "Bebaskan Kawan Kami" dari balik sebuah pagar. Aksi ini merupakan bentuk protes dan tuntutan agar rekan mereka dibebaskan

SEMARANGRangkaian acara Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Universitas Negeri Semarang (Unnes) 2025 diwarnai kericuhan pada hari Minggu (17/08/2025). Ketegangan pecah antara mahasiswa dan aparat keamanan kampus buntut dari aksi pembentangan spanduk solidaritas untuk tiga mahasiswa Unnes yang kini berstatus terdakwa. Insiden ini menjadi puncak dari seruan mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Massa Aksi (Somasi) Unnes. Mereka menuntut pembebasan rekan mereka yang tersangkut kasus hukum setelah mengikuti aksi Hari Buruh pada Mei 2025.

Kronologi Aksi Solidaritas di PKKMB Unnes

Tepat setelah Upacara Bendera HUT RI ke-80, pada pukul 08.13 WIB, sejumlah mahasiswa dari Somasi Unnes membentangkan spanduk besar bertuliskan ‘Bebaskan Kawan Kami’. Aksi yang disertai bunyi drum dan yel-yel tersebut langsung memicu respons dari pihak keamanan kampus. Belum sempat spanduk terbentang penuh, petugas keamanan langsung menurunkannya secara paksa. Tindakan ini menyulut ketegangan singkat dan adu argumen antara mahasiswa dan aparat di lapangan.

Menjaga Ingatan untuk 3 Mahasiswa Terdakwa

Muhammad Hanif, salah seorang anggota Somasi Unnes, menyatakan bahwa aksi ini adalah langkah krusial untuk terus menyuarakan nasib ketiga rekannya. Status hukum mereka baru saja naik dari tersangka menjadi terdakwa pada Kamis, 14 Agustus 2025.

“Kami dari teman-teman Somasi Unnes itu ingin menyampaikan pesan bahwa masih terdapat tiga mahasiswa Unnes yang sampai dengan hari ini bukan lagi sebagai tersangka, tapi sudah menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Kota Semarang begitu,” ujar Hanif.

Respons Mahasiswa Baru dan Panggilan Kemanusiaan

Di tengah ketegangan, dua mahasiswa baru dari Fakultas Ilmu Keolahragaan, Yose dan Faris, memberikan pandangan mereka yang cenderung netral.

“Karena kami Maba. Kami nggak tahu apa-apa, jadi ikut dukung aja gitu. Ambil netral aja kami,” tutur mereka.

Menanggapi sikap tersebut, Hanif menekankan bahwa Somasi Unnes tidak pernah memaksa siapa pun untuk peduli. Namun, ia berharap ada rasa ingin tahu yang bisa memantik nurani.

“Setidaknya dari rasa ingin tahu tersebut akan timbul rasa-rasa kemanusiaan. Dan menimbulkan pertanyaan: bagaimana nanti jika peristiwa kriminalisasi ini bisa menimpa diri sendiri?” tutupnya.

Rangkaian peristiwa hari itu diakhiri dengan aksi walk out yang dimulai oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan diikuti oleh beberapa fakultas lainnya pada pukul 08.10 WIB.

  

Permintaan Maaf Sudewo dihadapan Massa Aksi 

PATI – Eskalasi kemarahan publik di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mencapai puncaknya pada Rabu (13/8/2025) dalam sebuah demonstrasi kolosal yang berakhir ricuh. Dipicu oleh kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan diperparah oleh pernyataan arogan Bupati Sudewo, puluhan ribu warga turun ke jalan menuntut sang bupati mundur dari jabatannya. Aksi ini berujung pada pembakaran mobil aparat dan direspons Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan langkah politik luar biasa: menggulirkan hak angket.
Api krisis ini sejatinya bermula dari kebijakan Pemkab Pati yang menaikkan PBB hingga 250%. Namun, bensin yang menyulut kobaran api amarah adalah pernyataan Bupati Sudewo yang viral. Menanggapi rencana protes, Sudewo dengan nada menantang menyatakan tidak gentar.

"Jangankan 5 ribu orang yang demo, 50 ribu orang yang demo pun tidak akan membatalkan kebijakan PBB," ujar Sudewo dalam sebuah rekaman video yang beredar luas sebelum aksi.

Pernyataan inilah yang mengubah gelombang protes dari sekadar isu kebijakan menjadi mosi tidak percaya terhadap integritas kepemimpinan Sudewo.

Kronologi Kemarahan: Dari Peti Mati hingga Gas Air Mata

Gambar Salah Satu Spanduk yang dibawa Massa Aksi
Sejak pagi hari, massa yang diperkirakan mencapai 100.000 orang dari berbagai elemen masyarakat telah memadati Alun-Alun Pati. Mereka membawa spanduk, poster, hingga replika peti mati sebagai simbol matinya kepercayaan rakyat . Suasana yang semula berjalan tertib mulai memanas sekitar pukul 11.00 WIB.
Kekecewaan massa memuncak karena Bupati Sudewo tak kunjung keluar untuk menemui mereka. Situasi memanas tak terkendali. Massa mulai merangsek, menggoyang, dan akhirnya menjebol gerbang Pendopo Kabupaten. Botol air mineral dan batu pun melayang ke arah kantor bupati.
Aparat kepolisian yang berjaga terpaksa menembakkan gas air mata untuk memukul mundur kerumunan. Puncak kericuhan terjadi saat sebuah mobil provos milik Polres Grobogan yang terparkir di depan rumah dinas Kapolres dibakar oleh massa yang marah.
Koordinator lapangan dari Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, dalam orasinya, menegaskan bahwa kesabaran warga telah habis.
"Bupati telah menyakiti hati rakyat Pati! Pernyataannya adalah bukti kesombongan dan ketidakpedulian. Hari ini, kami tidak lagi bicara soal pajak, kami menuntut Sudewo mundur!" pekiknya di atas mobil komando, disambut gemuruh massa.
Meski Sudewo telah membatalkan kebijakan PBB dan meminta maaf atas ucapannya beberapa hari sebelum aksi, publik terlanjur menilai langkah itu tidak tulus dan hanya bertujuan meredam gejolak. Tuntutan kini tunggal: pelengseran bupati.

Parlemen Bergerak: Hak Angket Sebagai Jalan Konstitusional

Rapat DPRD Pati terkait Penggunaan Hak Angket 

Merespons tekanan publik yang masif, DPRD Kabupaten Pati menggelar rapat pimpinan dan menyepakati langkah politik yang serius. Dipimpin oleh Ketua DPRD Ali Badrudin, mayoritas fraksi setuju untuk menggunakan hak angket guna menyelidiki kebijakan dan dugaan pelanggaran sumpah janji bupati.

"Ini rapat dengan momen yang sangat penting. Keputusan diambil sesuai tahapan yang berlaku. Kita sepakati penjadwalan dan usulan angket," kata Ali Badrudin setelah rapat.

Dukungan datang dari berbagai penjuru, termasuk dari partai yang sebelumnya menjadi pengusung Sudewo. Anggota Fraksi Demokrat, Joni Kurnianto, menjadi salah satu suara yang paling vokal di parlemen.

"Hak angket untuk Bupati karena telah sudah melanggar janji sumpah dari Bupati Pati. Dan muncul kegaduhan di Pati," tegas Joni dalam interupsinya saat rapat.

Ketua Fraksi PKS, Narso, menambahkan dimensi lain pada mosi tidak percaya ini. Menurutnya, masalah tidak hanya soal PBB dan pernyataan arogan, tetapi juga tata kelola pemerintahan yang bermasalah.

"Ada persoalan lain seperti pengisian jabatan direktur RSUD Soewondo yang janggal dan dugaan pergeseran anggaran tahun 2025 yang tidak transparan. Ini semua harus diusut tuntas," jelas Narso kepada wartawan.

Perlawanan dan Pembelajaran

Di tengah desakan mundur dan ancaman pemakzulan, Bupati Sudewo memilih bertahan. Ia menegaskan posisinya tidak akan goyah oleh tekanan massa maupun manuver politik di DPRD.

"Saya Dipilih Rakyat secara Konstitusional," ujarnya singkat namun tegas saat dimintai konfirmasi mengenai pengguliran hak angket.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengambil posisi netral namun memberi peringatan. Wakil Gubernur Taj Yasin menyebut peristiwa ini sebagai pelajaran mahal bagi semua kepala daerah.

"Aksi demo di Pati menjadi pembelajaran bagi para pemangku kebijakan untuk selalu mengutamakan aspirasi dan mendengarkan suara masyarakat. Jangan sampai ada Pati kedua," kata Wagub.

Krisis di Pati kini memasuki babak baru. Pertarungan antara tekanan jalanan dan perlawanan institusional akan diuji melalui Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD. Apapun hasilnya, peristiwa ini telah menjadi studi kasus nyata tentang bagaimana arogansi kekuasaan dan kegagalan komunikasi dapat meruntuhkan legitimasi seorang pemimpin yang dipilih secara demokratis.

 

 

Para pekerja menjadi tulang punggung ekonomi. Namun, ironisnya, kesejahteraan mereka seringkali terpinggirkan.Foto: Dery Ridwansah/ JawaPos.com

Oleh: Bowo Arifin Ryan Fanuchi

Di tengah gemuruh perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia dan gema janji penciptaan 19 juta lapangan pekerjaan, ada sebuah kado pahit yang disajikan di atas meja perjamuan bangsa: sebuah krisis ketenagakerjaan yang bersifat struktural, kronis, dan semakin ganas. Ketika statistik kemajuan dan retorika kebijakan dipamerkan laksana piala, jutaan rakyat justru berjuang menagih janji kemerdekaan yang paling fundamental, yaitu kemerdekaan ekonomi. Momentum 80 tahun ini bukanlah saat untuk sekadar berpesta, melainkan untuk membenturkan janji manis dengan realitas pahit dan melakukan otopsi kritis: apa arti "merdeka" jika rakyatnya masih terbelenggu dalam pengangguran terselubung, kerentanan, dan stagnasi kesejahteraan?

Fatarmogana Pasar Kerja: Angka yang Menipu

Fokus pada angka pengangguran resmi adalah cara termudah untuk tersesat dalam ilusi statistik. Realitasnya, pengangguran di kalangan terdidik adalah bukti kegagalan sistemik. Berdasarkan data terbaru Februari 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan SMK masih menjadi yang tertinggi, yaitu sebesar 8,62%—sebuah ironi tragis yang membuktikan bahwa pendidikan vokasi kita lebih banyak mencetak antrean pengangguran baru. Ini adalah "paradoks ketidaksesuaian" (mismatch paradox), di mana negara memproduksi lulusan untuk pekerjaan yang tidak pernah diciptakan oleh model ekonominya sendiri.

Namun, masalah sebenarnya jauh lebih dalam dan tersembunyi. Angka TPT yang "hanya" 7,86 juta orang menjadi tidak berarti jika kita melihat data pekerja paruh waktu dan setengah penganggur yang jumlahnya mencapai lebih dari 30 juta orang. Jika digabungkan, lebih dari 38 juta warga negara adalah pasukan cadangan pekerja rentan (underutilized). Mereka adalah angkatan kerja yang hidup di zona abu-abu—tidak menganggur secara resmi, namun jauh dari kata sejahtera. Ini adalah wajah asli "pengangguran terselubung" kita: jutaan orang bekerja sekadarnya untuk bertahan hidup, bukan untuk membangun masa depan.

Krisis ini paling parah menghantam generasi muda, calon pewaris bangsa. Dengan tingkat pengangguran pemuda (15-24 tahun) yang mencapai 13,93%, Indonesia berada dalam posisi yang jauh lebih buruk dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Kita sedang menciptakan "generasi yang terluka" (scarring effect)—sebuah luka ekonomi dan psikologis yang akan mereka bawa seumur hidup dalam bentuk pendapatan yang lebih rendah dan prospek karier yang suram, mengancam mengubah bonus demografi menjadi bom waktu demografis.

Fondasi ekonomi kita pun dibangun di atas pasir, ditopang oleh dominasi sektor informal yang mencapai hampir 60% dari total tenaga kerja. Sektor ini seringkali dinarasikan secara romantis sebagai bukti "ketahanan" ekonomi rakyat, padahal sejatinya adalah cerminan dari kegagalan negara menyediakan pekerjaan layak. Bekerja di sektor ini berarti hidup dalam ketidakpastian abadi: tanpa kontrak, tanpa jaminan sosial, dan tanpa perlindungan hukum. Seperti yang dianalisis oleh INDEF, kondisi ini menjebak mayoritas pekerja dalam siklus kemiskinan dan menjadikan mereka tameng pertama saat terjadi guncangan ekonomi.

Di tengah semua ini, narasi "pertumbuhan untuk kesejahteraan" terbukti kebohongan. Data dari CELIOS menunjukkan adanya pemisahan (decoupling) yang jelas antara pertumbuhan PDB dengan kenaikan upah riil buruh. Ini bukan sekadar anomali statistik; ini adalah bukti adanya ekstraksi nilai secara sistematis. Buah dari kerja keras dan peningkatan produktivitas para buruh tidak kembali kepada mereka secara proporsional, melainkan diakumulasi sebagai keuntungan bagi segelintir pemilik modal. Ini adalah erosi fundamental terhadap kontrak sosial yang menjadi dasar negara.

Mesin Industri yang Sengaja Dimatikan

Gejala-gejala ini adalah manifestasi dari penyakit yang lebih dalam pada struktur ekonomi kita: deindustrialisasi dini. Sektor manufaktur, yang seharusnya menjadi eskalator sosial dan ekonomi, justru kehilangan perannya secara prematur. Kontribusi sektor ini terhadap PDB terus merosot drastis dari puncaknya di masa lalu hingga kini berada di bawah 19%. Ini bukan takdir, melainkan hasil dari pilihan kebijakan yang keliru. Kita telah kehilangan mesin utama penciptaan pekerjaan formal yang stabil, berupah layak, dan memiliki efek pengganda yang kuat ke seluruh perekonomian.

Akibatnya, tenaga kerja tidak bertransformasi, melainkan bermigrasi ke jurang kerentanan. Mereka berpindah bukan ke sektor jasa modern yang dinamis, melainkan ke sektor jasa berkualitas rendah seperti perdagangan dan akomodasi. Ini adalah "pergeseran semu", di mana jutaan orang terserap ke dalam aktivitas berproduktivitas rendah dengan upah subsisten. Transformasi struktural kita mandek, tidak seperti lintasan pembangunan yang berhasil ditempuh oleh negara-negara industri baru di Asia Timur.

Arah investasi pun keliru, lebih mencerminkan logika kapitalisme rente ketimbang pembangunan produktif. Aliran modal, baik investasi asing (PMA) maupun kredit perbankan, menunjukkan bias kuat terhadap sektor padat modal dan konsumtif. Kebijakan hilirisasi yang dibanggakan pemerintah, misalnya, lebih banyak menciptakan "katedral di padang gurun": enklave modern seperti smelter yang menyerap sedikit tenaga kerja lokal dan memiliki keterkaitan yang lemah dengan ekonomi domestik. Sementara itu, sistem perbankan kita lebih sibuk menyalurkan kredit konsumtif daripada kredit produktif untuk industri, membiayai gelembung konsumsi alih-alih membangun kapasitas produksi nasional.

Regulasi sebagai Komplikasi, Bukan Solusi

Respons kebijakan yang ada justru memperparah keadaan. Undang-Undang Cipta Kerja, yang dijanjikan sebagai solusi, pada praktiknya menjadi instrumen untuk melegalkan prekaritas (ketidakpastian kerja). Dengan mempermudah outsourcing untuk pekerjaan inti dan menghilangkan batasan waktu untuk pekerja kontrak (PKWT), UU ini mengorbankan keamanan kerja demi "fleksibilitas" yang hanya menguntungkan pengusaha. Bahkan lembaga seperti ILO menyuarakan keprihatinan serius, meskipun Bank Dunia memberikan dukungan bersyarat.

Formula penetapan upah minimum dalam PP No. 51 Tahun 2023 juga secara efektif berfungsi sebagai matematika penindasan yang menekan daya beli pekerja. Di sisi lain, insentif fiskal seperti tax holiday lebih banyak dinikmati oleh sektor padat modal, gagal memenuhi janji penciptaan lapangan kerja. Program Kartu Prakerja pun, menurut evaluasi independen SMERU, tak lebih dari sebuah plasebo kebijakan: memberikan pereda nyeri sementara berupa insentif tunai, namun gagal menyembuhkan penyakit struktural kurangnya permintaan akan tenaga kerja terampil.

Menagih Janji Kemerdekaan Ekonomi

Memasuki dekade kesembilan kemerdekaannya, Indonesia berada di persimpangan jalan. Melanjutkan lintasan kebijakan saat ini berarti membiarkan bom waktu sosial-ekonomi terus berdetak. Kita tidak butuh penyesuaian, kita menuntut revolusi paradigma: dari obsesi buta pada angka PDB menuju pembangunan ekonomi yang berpusat pada penciptaan pekerjaan layak. Ini menuntut kebijakan industri aktif yang memprioritaskan sektor padat karya, reformasi total sistem pendidikan vokasi, dan pembangunan sistem perlindungan sosial universal yang mencakup pekerja informal.

Yang terpenting, pemerintah harus membuka kembali ruang dialog untuk meninjau ulang pasal-pasal problematis dalam UU Cipta Kerja demi menemukan keseimbangan baru yang adil antara fleksibilitas dan keamanan. Tanpa langkah-langkah fundamental ini, pertumbuhan ekonomi akan selamanya menjadi ilusi. Kemerdekaan sejati bukanlah bebas dari penjajahan fisik semata, tetapi bebas dari rasa cemas akan masa depan ekonomi. Itulah janji kemerdekaan yang harus kita tagih, dan jika perlu, kita rebut kembali di usianya yang ke-80.

Infografis: Krisis Ketenagakerjaan Struktural Indonesia

Di tengah gema janji 19 juta lapangan kerja, data menunjukkan realitas pahit yang dihadapi angkatan kerja Indonesia. Infografis ini membedah ilusi statistik dan akar masalah yang sebenarnya.

Fatarmogana Pasar Kerja: Angka yang Menipu

Generasi Muda Paling Terdampak

Pengangguran Pemuda (15-24 thn)

13.93%

Indonesia

>

~7.5%

Rata-rata ASEAN

Tingkat pengangguran pemuda kita hampir dua kali lipat rata-rata regional, mengancam bonus demografi menjadi bencana demografis. (Sumber: Bank Dunia)

"Generasi Terluka" (*Scarring Effect*)

Pengalaman menganggur di awal karier menyebabkan konsekuensi negatif jangka panjang, termasuk pendapatan lebih rendah seumur hidup dan prospek karier yang lebih suram. Ini bukan masalah sementara, ini adalah luka permanen pada potensi bangsa.

Akar Masalah: Mesin Industri yang Mati Suri

Alur Migrasi Tenaga Kerja yang Keliru

👨‍🌾

Sektor Pertanian

Produktivitas Rendah

🏭

Sektor Manufaktur

(Seharusnya Menyerap)

🛵

Sektor Jasa Informal

Produktivitas & Upah Rendah

Tenaga kerja tidak berpindah ke pekerjaan berkualitas, melainkan terserap ke dalam aktivitas subsisten, menciptakan "pergeseran semu".

Regulasi Sebagai Komplikasi, Bukan Solusi

Kebijakan seperti UU Cipta Kerja, alih-alih mengatasi akar masalah, justru melegalkan prekaritas (ketidakpastian kerja) demi "fleksibilitas" yang seringkali hanya menguntungkan satu pihak.

Pesangon

Formula dikurangi, menurunkan jaring pengaman pekerja.

Outsourcing

Diperluas ke pekerjaan inti, mengikis keamanan kerja.

Kontrak (PKWT)

Batas waktu dihapus, membuka potensi kontrak seumur hidup.

Saatnya Menagih Janji Kemerdekaan Ekonomi

Memasuki dekade kesembilan, Indonesia menuntut revolusi paradigma: dari obsesi pada PDB menuju pembangunan yang berpusat pada penciptaan **pekerjaan layak**. Tanpa itu, kemerdekaan sejati akan selamanya menjadi ilusi.

Video Permintaan Maaf Mentri ATR/BPN Nusron Wahid sumber : Akun Instagram kementerian.atrbpn

Jakarta – Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid yang menyebut "semua tanah adalah milik negara" sempat memicu polemik panas dan menjadi perbincangan luas di media sosial. Menanggapi kegaduhan yang timbul, Nusron akhirnya meminta maaf secara resmi dan memberikan klarifikasi, menegaskan bahwa pernyataannya tersebut adalah sabqul lisan atau kekeliruan ucap.


Pernyataan kontroversial ini muncul dalam sebuah acara di Jakarta, 6 Agustus 2025, saat ia membahas kebijakan penertiban tanah terlantar. Dalam video yang beredar, Nusron menjelaskan bahwa masyarakat hanya memegang hak penguasaan, sementara negara-lah yang memiliki tanah.


"Tanah itu tidak ada yang memiliki, yang memiliki tanah itu negara. Orang itu hanya menguasai," ujarnya kala itu, menambahkan bahwa klaim kepemilikan berdasarkan warisan leluhur tidak berlaku jika tidak dibuktikan dengan sertifikat resmi.


Setelah pernyataannya viral, Nusron Wahid memberikan klarifikasi melalui konferensi pers pada Selasa, 12 Agustus 2025. Ia menjelaskan bahwa maksud utama dari pernyataannya adalah untuk menegaskan peran negara sebagai regulator hubungan hukum antara rakyat dan tanahnya, sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa kekayaan alam, termasuk tanah, dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.


Nusron menekankan bahwa pernyataannya hanya menyasar lahan-lahan luas dengan status Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang dibiarkan terlantar dan tidak produktif. Ia menegaskan tidak ada niat untuk mengganggu kepemilikan tanah rakyat, seperti sawah, pekarangan, atau tanah waris yang telah bersertifikat.


Lebih lanjut, ia mengakui bahwa sebagian ucapannya saat itu disampaikan dalam konteks "guyon" atau bercanda yang ternyata tidak pantas dan dapat menimbulkan persepsi yang keliru. "Kami menyadari dan mengakui pernyataan tersebut, candaan tersebut tidak tepat, tidak sepantasnya, dan tidak selayaknya untuk kami sampaikan, apalagi disampaikan pejabat publik," ungkapnya.


Untuk melengkapi klarifikasi tersebut, Kementerian ATR/BPN turut menjelaskan secara hukum apa yang dimaksud dengan tanah negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021, tanah negara didefinisikan sebagai tanah yang tidak memiliki hak atas tanah tertentu, bukan tanah wakaf, dan bukan tanah ulayat. Dengan demikian, tanah negara adalah seluruh bidang tanah di Indonesia yang tidak dimiliki oleh pihak lain dan dapat diberikan kepada individu atau badan hukum sesuai dengan peruntukannya.


Nusron berharap klarifikasi ini dapat meluruskan pemahaman publik dan meredakan polemik. "Sekali lagi saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada publik, kepada netizen, dan kepada masyarakat Indonesia," tutupnya.

Reporter : Bowo Arifin Ryan Fanuchi

SEMARANG – Ribuan anak muda yang memadati festival musik indie modern disuguhi pemandangan tak biasa sebagai pembuka: sebuah pertunjukan Barongan Ndas Papat yang sarat filosofi Jawa. Momen kontras ini menjadi penanda dimulainya PentaK Labs 5: Tulang Lunak Bandeng Juwana, perayaan akbar 20 tahun eksistensi Kolektif Hysteria yang sukses menyedot sekitar 3.000 pengunjung di Kawasan Kota Lama, Sabtu (2/8/2025).

Acara yang digelar di dua panggung ini secara tegas memanifestasikan semangat Hysteria untuk menjadi "titik pertemuan", sebuah gagasan yang diamini oleh perwakilan Gubernur Jawa Tengah, Eris, yang menyebut perhelatan ini sebagai "pertemuan antara kota, komunitas, dan pengetahuan."

Penampilan magis dari Komunitas Seni Samar asal Kudus dengan Barongan Ndas Papat mereka di panggung Dengar Kota x Ditampart, menjadi pembuka yang tak biasa untuk perayaan 20 tahun Kolektif Hysteria

Semangat pertemuan itu terasa sejak sore hari di Dengar Kota x Ditampart Stage. Dibuka oleh Komunitas Seni Samar dari Kudus dengan Barongan Ndas Papat yang menggunakan properti ramah lingkungan, panggung ini juga menampilkan talenta beragam seperti Zizi, Catzy, Dressed Liked an Ocean, dan Japa Mantra.

Sementara itu, panggung utama mulai berdenyut pada malam hari. Setelah dibuka oleh Beverlyline, panggung secara bergantian diisi oleh penampilan LoON dan Figura Renata yang menjaga antusiasme penonton sebelum klimaks acara.

Beverlyline menjadi penampil musik pertama di Panggung Utama PentaK Labs 5, memanaskan suasana Kota Lama dengan energi baru.

LoON menjadi salah satu penampil yang menjaga antusiasme penonton sebelum puncak acara.

Figura Renata, saat tampil memukau ribuan penonton di Panggung Utama.

Antusiasme ini dirasakan langsung oleh para pengunjung yang hadir. Salah satunya adalah Bimo, yang mengaku sengaja datang sejak sore. "Saya senang dan sangat tertarik dengan semua rangkaian acaranya. Jarang banget ada festival yang isinya selengkap ini, dari barongan, talkshow, sampai musik-musik keren. Semuanya dapat," ujarnya.

Hal senada diungkapkan Riski. "Energinya positif banget. Melihat Kota Lama hidup dengan acara sekreatif ini bikin bangga. Semoga Hysteria terus konsisten ke depannya," tambahnya.

Puncak perayaan menjadi milik Efek Rumah Kaca (ERK). Alih-alih langsung menghentak, band asal Jakarta ini membuka penampilan mereka dengan mengajak 3.000 penonton ke dalam sebuah perenungan massal melalui lagu-lagu seperti "Melankolia" dan "Putih". Tensi kemudian meningkat dengan lagu-lagu gugatan seperti "Manifesto," "Perempuan," "Pasar," "Sebelah Mata," dan "Di Udara."

Di tengah penampilan yang membakar semangat ini, tampak lautan tangan mengacung ke udara, larut dalam alunan musik dan lirik-lirik kritis ERK.

Efek Rumah Kaca (ERK) membius ribuan penonton di Panggung Utama PentaK Labs 5 dengan penampilan energik dan lirik-lirik yang menggugah.

Tak lama berselang, bendera "One Piece", simbol kebebasan dari budaya pop, berkibar tinggi di antara lautan penonton, seakan memvisualisasikan lirik-lirik kritis yang dinyanyikan serempak. 

Salah satu penonton mengibarkan bendera 'One Piece', sebuah simbol budaya pop yang resonansinya menyatu dengan lirik-lirik kritis Efek Rumah Kaca.

Penampilan mereka berlanjut dengan lagu-lagu reflektif seperti "Rindu," "Funky," "Bersemi," dan "Balle," sebelum ditutup dengan ironi cerdas melalui lagu "Cinta Melulu."

Perayaan dua dekade ini pun menjadi bukti kekuatan daya tahan komunitas independen dan pentingnya ruang kreatif alternatif bagi sebuah kota.


Reporter & Penulis: Bowo Arifin Ryan Fanuchi